Terhenyak

>> Thursday, May 23, 2013

Ternyata sebuah kejadian kecil memang bisa mengubah hidup manusia. Akhir bulan Februari lalu saya mendapat musibah yang mungkin bisa dibilang jadi bahan cemooh teman-teman yang mengenal saya dengan baik, saya jatuh dan akhirnya ada tulang dibagian siku kanan saya yang patah dan mengakibatkan saya harus terpaksa beristirahat di rumah. Hmm...ternyata 3 minggu setelahnya, atasan saya di kantor pun jatuh terpleset di kamar mandi rumahnya. Wow...ternyata jatuh itu bisa menular ya...ha...ha...ha...saya jatuh terpleset di depan mini market di daerah Gunung Salak, setelah sebelumnya sempat meledek seorang teman lama yang kalah adu lari naik di Curug Cigamea sedangkan atasan saya jatuh di rumahnya. Tapi sekali lagi saya merasa bersyukur bahwa apa yang terjadi pada saya tidak terlalu parah dan masih bisa disembuhkan.

Mungkin tulisan ini dibuka oleh sebuah paragaraf tentang saya, tapi sebenarnya apa yang ingin saya sampaikan di sini sedikit berbeda. Berawal dari kebiasaan lama saya untuk chatting di dunia maya, saya berkenalan dengan seorang perempuan sebut saja namanya Bunga. Dari bunga saya mendapatkan sebuah cerita tentang keteguhan hati seorang ibu dan seorang wanita. Dia masih kuliah di salah satu PTS di kota Bandung dan Bunga adalah seorang single mother. Satu kalimat Bunga yang membuat saya terhenyak diam sesaat, "Biarinlah gue yang rusak, tapi anak gue harus tetap normal dan bersekolah, gue pengen dia masuk playgroup, makanya gue lagi bingung cari duit untuk bisa masukin dia ke playgroup".

Diantara gencarnya pemberitaan media soal pratek mark-up daging sapi oleh politisi negara ini, cerita tentang Bunga mahasiswi yang 'jual' diri demi mememuhi kebutuhan hidup anaknya menyeruak ke dalam benak saya. Dari ceritanya saya mendapati bahwa Bunga memutuskan menjual diri karena terpaksa, demi kelangsungan hidup anak yang saat ini tinggal bersama ibunya. "Gue terpaksa ngelakuin ini karena gue butuh duit dan gue masih amatir, jadi gue nggak tau juga gue mesti pasang tarif berapa secara gue bukan profesional gue masih amatir. Bahkan gue pernah kok dibohongin, gue dibikin mabok terus gue dipake dan gue besoknya ditinggal gitu aja di hotel, sadar-sadar gue dibangunin sama yang jaga hotel...dan gue nggak dibayar. Padahal gue dah bilang gue butuh duit itu buat anak gue bukan buat gue".

Cerita Bunga terus mengalir, hingga cerita soal ayah sang anak yang ternyata bukan dari orang yang mampu. "Bingung gue sama laki gue, waktu dia di Bandung, cari kerja aja nggak dan gue yang suruh ngidupin dia. Mana gue sendiri ribet sama skripsi, belum lagi ngurus anak, belum lagi sebulan lalu gue baru aja dapat kerja itu pun masih kurang buat bayar hutang waktu laki gue di sini. Hadeh...mumet gue, tapi itulah gue, gue juga sadar, gue bukan perek sekali lagi gue terpaksa begini karena gue pernah cinta mati sama seseorang tapi perut gue nggak bisa dikasi makan cinta, bisanya pakai makanan dan makanan itu perlu duit". 

Cerita Bunga mungkin 180 derajat berbeda dengan cerita Maharani yang berlimpah uang, Bunga menjual dirinya dengan menyampingkan perasaannya terhadap laki-laki yang tidur dengan dia, "Gue dah nggak pakai perasaan kalau tidur sama cowok, yang penting tuh cowok 'keluar' dan gue dibayar. Cowok butuh apaan sih paling lobang kan?" Dari cerita Bunga apakah kita berhak menghakimi Bunga sebagai seorang yang salah?

Read more...

Bubarkan Parlemen...!!!

>> Monday, November 26, 2012

"...terhitung mulai saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibubarkan!".
"Ye...asik...!!!" disambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang ramai.
"Lho...???"

Apakah benar itu terjadi? Jawabannya...ya, itu terjadi dalam sebuah simulasi workshop 'Membangun Kotamu" dalam acara Kader Pelopor Penataan Ruang 2012. Konsep workshop-nya mungkin terlihat sederhana akan tetapi dapat dianggap sebagai sebuah representasi keadaan yang terjadi di kota-kota di Indonesia, lebih besar lagi sebuah representasi dari sebuah negara besar yang bernama Indonesia. 

70 siswa-siswi terbaik dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia dibagi dalam 7 kelompok yang terdiri dari 10 orang dan menggunakan 2 metode kembali ke masa lalu (City Rewind) atau maju ke masa depan (City Fast Forward). City Rewind dan City Fast Forward sama-sama bermain dengan waktu yang berjalan ke depan, bedanya hanya terletak pada kondisi kota. City Rewind memiliki kepadatan kotanya tidak terlalu tinggi, lahan kosong yang dapat digunakan masih banyak namun dibatasi oleh kemajuaan teknologi yang ada saat itu serta dipengaruhi oleh sejarah yang telah terjadi, sedangkan City Fast Forward memiliki kepadatan kota eksisting yang ada serta memungkinkan lahirnya 'ide-ide liar' (wild idea) yang tidak terbatas. Peserta kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian saling berbagi peran; 2 orang menjadi Walikota dan Wakil Walikota, 2 orang menjadi Ahli Lingkungan, 2 orang menjadi Arsitek/Ahli Tata Kota dan Ahli Sistem Transportasi, 2 orang menjadi Ahli Keuangan dan 2 orang menjadi Anggota Parlemen (Wakil Rakyat).


Setelah workshop dimulai maka setiap kelompok memulai diskusi tentang apa yang akan dilakukan dan direncanakan untuk kotanya masing-masing. Walikota dan Wakil Walikota mulai membahas bagaimana bentuk kotanya ke depan dibantu dengan para Ahli dibidangnya masing-masing. Sementara itu Anggota Parlemen mulai menyusun apa saja kebutuhan atau keinginan dari warga kota. Waktu pun berjalan sampai satu ketika diskusi menjadi sebuah ajang perdebatan. Ternyata perdebatan tersebut terjadi dikarenakan tidak bisa berjalannya perencanaan yang disebabkan oleh para anggota Anggota Parlemen yang terlalu melakukan intervensi kepada teman-teman lain yang berperan sebagai Ahli.


Kelompok bernama '7 Corner' misalnya, Anggota Parlemen di kelompok ini tidak melakukan kerja kelompok seperti anggota yang lain akan tetapi hanya memberi komentar demi komentar, bahkan ketidaksetujuannya disampaikan langsung kepada para Ahli yang bekerja. Ketika kejadian ini terjadi, para mentor menetapkan peraturan baru bahwa para Anggota Parlemen tidak dapat melakukan intervensi langsung kepada para Ahli dan intervensi harus dilakukan melalui Walikota dan atau Wakil Walikota, sehingga ada sebuah sistem tatanan yang berlaku. Sistem ini diberlakukan ke semua kelompok, hingga akhirnya sebuah fenomena kembali muncul di kelompok ini, entah siapa yang memiliki ide, tapi di kelompok ini Wakil Walikota bertugas menghadapi intervensi, ketidaksetujuan dari para Anggota Parlemen sementara sang Walikota terus memimpin pembangunan kota impian. 


Evaluasi dilakukan terhadap apa yang sudah dicapai sebelumnya, siswa-siswi ini pun berkeluh kesah bahwa perencanaan tidak dapat berjalan dikarenakan para Anggota Parlemen terlalu tidak bisa diajak bekerja sama bahkan cenderung banyak menuntut. Para mentor pun mengambil berdiskusi tentang hal ini dan akhirnya mengambil keputusan untuk membubarkan parlemen dan mengalihkan Anggota Parlemen menjadi Ahli Transportasi Kota. Ternyata tanpa diduga hal ini disambut dengan sorak-sorai dari para peserta dan setelah dibubarkan workshop dapat berjalan dengan baik.


Sebuah pertanyaan besar muncul, apakah memang apa yang terjadi dalam simulasi dalam workshop merupakan sebuah representasi yang diserap oleh para siswa? Jika jawabannya iya, apakah representasi rakyat di negara ini tidak lagi diperlu lagi diwakilkan lewat partai-partai politik yang membentuk fraksi-fraksi di parlemen?

Read more...

There always new things

>> Saturday, November 19, 2011


Sabtu ini memang seperti adalah waktu yang harus dipaksakan untuk sedikit keluar dari rutinitas monoton yang sudah jadi makanan sehari-hari. Jam 07.00 berebut untuk naik bus Trans Jakarta yang semakin tidak nyaman, 08.00-17.00 berkutat dengan semua urusan kantor dan malamnya harus kembali membuka buku matematika dasar. Jum'at malam sebenarnya rencana untuk nonton "Tintin the Movie" telah direncanakan, tapi sekali lagi kegagalan pemerintah kota Jakarta menyediakan transportasi publik yang dapat diandalkan, membuat nonton bersama sahabat pun batal.

Jam di komputer sudah menunjukan 11.30, sementara hasil penelusuran di dunia maya menunjukan pertujukan film di Metropole akan dimulai pada jam 12.30 sedang di TIM jam 13.00. Setelah berusaha mengerjar waktu tepat jam sesuai dengan jadwal pertunjukan pertama 13.05 akhirnya sampai juga di TIM XXI. TIM memang selalu memberikan ide-ide segar buat seorang arsitek, terutama di sebuah toko buku milik penyair Jose Rizal Manua. Toko buku milikinya ini tidak terlalu besar bahkan mungkin kecil bila dibandingkan dengan toko-toko buku besar yang ada di Jakarta. 'Kecil-kecil cabe rawit' mungkin julukan yang diberikan kepada toko buku ini. Untuk seorang arsitek yang masih terus belajar tentang kota dan arsitektur, toko buku ini menyediakan banyak hal baru. Beberapa buku langka tentang arsitektur dan kota tergeletak sebagai harta karun yang siap digali.

Read more...

Blog Archive

Followers

About This Blog

KUMKUM

About This Blog

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP